PACEMPAPUA.COM,- Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (DR.H.C) kepada Kardinal Miguel Angel Ayuso,MCCJ, Dikasteri Prefek untuk Dialog Lintas Agama Tahta Suci Vatikan, Senin (13/2/2023)
Berikut teks orasi ilmiah lengkap Kardinal Miguel Angel Ayuso,MCCJ yang diterjemahkan oleh Staf khusus Dikasteri Prefek untuk Dialog Lintas Agama, Pastor Markus Solo Kewuta,SVD yang terima wartawan hari ini.
Rektor dan para Wakil, Ketua Panitia Promosi dan Anggotanya, Para Pejabat, Yang Mulia Para pemuka agama, tamu-tamu yang terhormat, Sahabat-sahabat yang baik!
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Senat, Rektor, para Wakil Rektor, Panitia Promosi, dan seluruh Civitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, atas Penganugerahan Doctor Honoris Causa kepada saya hari ini, bersama-sama Dr Yahya Cholil Staquf, Ketua Nahdlatul Ulama (NU), dan Dr Sudibyo Markus, Mantan Ketua Muhammadiyah. Saya mengucapkan terima kasih atas peristiwa penting ini yang telah Anda persiapkan dengan komitmen, kesabaran, dan kegembiraan yang begitu besar.
Peristiwa Lintas Agama ini merupakan tanda nyata dari komitmen kita yang tidak terbagi untuk mempromosikan kehidupan dan masa depan yang lebih baik bagi umat manusia. Kita sudah selalu yakin bahwa dialog dan kerja sama antaragama adalah jalan yang benar untuk maju. Hari ini, didorong oleh kesempatan yang menggembirakan ini, saya ingin menekankan pentingnya tanggung jawab bersama kita untuk bekerja sama demi kebaikan bersama.
Yang Mulia, para tamu terhormat, sahabat-sahabat terkasih,
Saat ini kita hidup dalam masyarakat majemuk yang sayangnya ditandai oleh konflik Yang Mulia, para tamu terhormat, sahabat-sahabat terkasih,
Saat ini kita hidup dalam masyarakat majemuk yang sayangnya ditandai oleh konflik yang terus tumbuh antara kelompok agama, bangsa dan etnis di satu sisi dan, di sisi lain, diskriminasi terhadap individu dan orang-orang yang rentan. Kita menyaksikan dunia yang tercabik-cabik, terpecah belah karena agresi manusia yang berawal dari keinginan untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan pengaruh atas orang lain.
Selain itu, kita bergumul dengan krisis kesehatan dunia yang dipicu oleh pandemi Covid-19 yang tiada henti. Tidak hanya manusia, terutama yang tidak bersalah, tetapi juga planet kita, rumah kita bersama, menderita.
Sungguh menyakitkan dan menakutkan pula melihat bagaimana identitas keagamaan telah diinstrumentasi, bahkan secara politis, yang mengarah ke polarisasi yang lebih dalam di dalam masyarakat. Tembok sedang dibangun untuk memisahkan, bukan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan. Dunia merindukan koeksistensi yang lebih damai dan harmonis hari ini dan besok. Kita sangat menyadari bahwa peran agama dalam menyembuhkan luka dunia yang rapuh dan membangun jembatan di tengah perbedaan sangat dibutuhkan: mungkin saat ini lebih dari sebelumnya.
Khususnya selama 60 tahun terakhir, Gereja Katolik telah mempromosikan dinamika dialog dan kerja sama berdasarkan kebenaran dan kasih, yang dipercayakan kepada kami oleh Tuhan kami Yesus Kristus. Untuk itu, prinsip inti dari perspektif Katolik jelas dan tidak ambigu: yakni memajukan budaya perjumpaan dan budaya perdamaian yang mengarah pada kerjasama yang tulus untuk kebaikan bersama sehingga semua orang dapat hidup dalam masyarakat yang rukun dan damai. Seperti yang telah ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan, agama seharusnya tidak menjadi masalah, melainkan bagian dari solusi (Paus Fransiskus, Astana 2022).
Sejak Konsili Vatikan II. Gereja tanpa lelah memajukan perdamaian dan keharmonisan di antara umat beragama yang berbeda. Bagi Bapa Suci Paus Fransiskus, dialog antara orang-orang yang berbeda agama benar-benar menjadi pusat refleksi dan tindakannya. Sudah diketahui umum bahwa sejak awal masa kepausannya, Bapa Suci telah menekankan hubungan yang baik antar umat berbagai agama, dengan menyoroti pentingnya persahabatan dan rasa hormat (maksudnya tentu saling menghormati).
Gereja Katolik, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Konsili Vatikan II “Nostra actate” menyatakan bahwa “Sebab semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki agar umat manusia mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir, yakni Allah… (NA 1).
Yang terhormat Para tamu, sahabat-sahabat yang baik,
Menghadapi tantangan global yang disebutkan di atas, mengingat peran yang dimainkan oleh agama-agama di dunia dan peran yang, sebagaimana banyak orang didesak dan dipanggil untuk memainkannya, mengingat kebutuhan yang memuncak untuk mengubah benturan peradaban yang akan datang menjadi dialog peradaban, semua Umat beragama harus menemukan cara-cara baru untuk merevitalisasi tradisi-tradisi klasik yang otentik untuk saling berhubungan dan berkolaborasi dalam suasana saling memahami dan saling menghormati.
Dalam masyarakat majemuk, tradisi dan komunitas keagamaan memiliki tanggung jawab esensial dan tanpa syarat untuk membangun masyarakat bersama, daripada saling mendominasi, untuk berdiri bersama demi (membela) hak setiap orang tanpa diskriminasi, dan untuk melindungi martabat manusia yang tidak dapat diganggu gugat, agar semua dapat makmur, daripada membuang-buang energi untuk bersaing satu sama lain untuk kepentingan tertentu.
Izinkan saya untuk mengungkapkan kepada Anda semua rasa terima kasih saya atas Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa ini. Selama dua puluh tahun, sebagai seorang imam Katolik, saya mendampingi komunitas Kristiani (Katolik) yang tinggal di antara umat Islam di sepanjang Lembah Nil antara Mesir dan Sudan. Setelah banyak pengalaman yang luar biasa di antara saudara dan saudari Muslim saya, saya terlibat dalam bidang akademik di Institut Kepausan untuk Studi Bahasa Arab dan Islam (PISAI) di Roma, Italia. Setelah memimpin lembaga Kepausan itu sebagai Presiden selama enam tahun, saya dipanggil oleh Paus, untuk bergabung dengan Dikasteri Dialog Lintas Agama di Vatikan.
Dalam studi akademik, penelitian, dan pengajaran saya, saya selalu terkesan dengan konsep Islam “wasatiyyah”, meski tidak mungkin memberikan terjemahan yang tepat, biasanya diterjemahkan sebagai “jalan tengah” atau “moderasi”; atau “berada dalam batas- batas yang tidak berlebihan” dalam keyakinan dan mengamalkan keyakinannya.
Saya perhatikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ketika menghadapi kebangkitan fundamentalisme dan ekstremisme agama, konsep wasatiyyah telah muncul sebagai elemen yang penting dalam wacana Islam di seluruh dunia. Konsep ini dimobilisasi oleh banyak Muslim yang mempertahankan karakter moderat dari cara tertentu dalam menafsirkan Islam ketika membahas isu-isu sosial kontemporer yang penting, berusaha untuk mengedepankan kebaikan publik dan keadilan sosial. “Moderasi terutama merupakan kebajikan moral yang relevan tidak hanya dengan perilaku pribadi atau individu tetapi juga dengan integritas dan citra diri komunitas dan bangsa (Mohammad Hashim Kamali, Jalan tengah moderasi dalam Islam: prinsip Al-Quran tentang Wasatiyyah, Oxford University Press, Oxford-New York 2015, hal.11).
Para tamu yang kami hormati, sahabat sekalian,
Para pemeluk agama diajak untuk menerima dan meneguhkan perbedaan agama sebagaimana adanya, sekaligus membuka diri untuk menghadapi umat beragama lain.
Dengan rasa hormat dan pengertian, menjaga hak-hak dan martabat kemanusiaan mereka yang tidak dapat diganggu gugat. Saya selalu bangga dengan Falsafah Bangsa. dan Dasar Negara Anda “Pancasila”, yang selama ini menjadi pedoman tegas Anda. dan yang membuat negara besar ini bersatu, yang dikaruniai begitu banyak keragaman budaya, suku, dan agama. Saya mengagumi beliau yang Anda cintai, Sunan Kalijaga, yang namanya digunakan untuk menamai Universitas ini. Dia adalah seorang pemimpin dan pengkhotbah Muslim yang nasionalis dan moderat, menyebarkan Islam dengan sukses sambil merangkul budaya dan seni Indonesia.
Masyarakat sipil yang multi-agama menuntut lebih dari sekadar toleransi terhadap perbedaan agama kita Sebagai saudara dan saudari dari sejarah yang sama dan bangsa yang sama, orang tidak cukup hanya saling bertoleransi tetapi harus saling mengasihi, karena kita semua pada saat yang sama adalah warga negara yang sama tetapi penganut tradisi agama yang berbeda. Untuk membentuk negara multi-agama yang berfungsi dan bertahan lama, kita tidak hanya harus menerima perbedaan agama kita, kita harus menegaskan mengakuisto affirmi mereka. Kita tidak hanya sebatas menerima kenyataan bahwa tetangga sebelah kita memiliki tradisi agama yang berbeda; tetapi kita harus senang mereka menjalankan imannya. Kita harus mengetahui identitas keagamaan mereka tidak hanya sebagai fakta kehidupan tetapi juga sebagai kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Masing-masing adalah 100% warga negara dan 100% beriman, sebagaimana diungkapkan oleh Uskup Agung Katolik pertama dan terkenal, Yang Mulia Albert Sugiyapranata, dari daerah ini, yang berbicara beberapa tahun setelah kemerdekaan tentang identitas umat Katolik di negara ini, mengundang mereka untuk melibatkan diri sepenuhnya untuk membangun negara setelah lama dijajah.
Jika kita akan menjadi sesama warga negara dengan mereka yang tidak seagama dengan kita, kita harus dengan jujur mengakui bahwa agama mereka sama pentingnya bagi mereka seperti agama kita bagi kita. Oleh karena itu, kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga Tuhan yang menciptakan kita bukanlah penyebab perpecahan, tetapi dasar persatuan kita.
Saya mendapat kehormatan menyaksikan penandatanganan “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” (Dolmen Abu Dhabi) oleh Bapa Suci Paus Fransiskus dan Yang Mulia Imam Besar Al-Azhar, Dr. Ahmad Al- Tayyib. Dapat dikatakan, tanpa retorika apa pun, bahwa penandatanganan dokumen tersebut merupakan tonggak sejarah dalam jalur dialog antaragama. Tonggak adalah titik di sepanjang jalan, bukan awal maupun akhir. Kita harus bekerja sama dalam berbagai cara untuk memajukan persaudaraan manusia dan hidup secara konkret dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya sangat berterima kasih atas apresiasi Anda terhadap Dokumen ini, yang sudah memotivasi Anda untuk mengadakan acara yang berarti ini. Peristiwa bersejarah hari ini merupakan kontribusi yang berani untuk memajukan dan memperkuat persaudaraan manusia, guna membangun dunia yang damai dalam kocksistensi bersama.
Kolaborasi antaragama dapat dan harus mendukung hak setiap manusia, di setiap belahan dunia dan setiap saat. Kita semua adalah anggota dari satu keluarga manusia dan dengan demikian, kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga dunia ini. Janganlah kita lupa bahwa di dasar setiap kolaborasi atau dialog, ada akar kemanusiaan kita yang sama. Ini berarti bahwa kita tidak memulai dialog dari nol: selalu ada kemanusiaan kita bersama, dengan segala aspek eksistensial dan praktisnya, yang menyediakan tempat perjumpaan yang dibutuhkan.
Paus Fransiskus menekankan dalam pesannya baru-baru ini untuk Hari Perdamaian Dunia ke-56 pada 1 Januari 2023 lalu, katanya: “Tentu saja, setelah mengalami langsung kerapuhan hidup kita sendiri dan dunia di sekitar kita, kita dapat mengatakan bahwa pelajaran terbesar yang kita petik dari Covid-19 adalah kesadaran bahwa kita semua saling membutuhkan. Bahwa harta kita yang terbesar namun juga sekaligus yang paling rapuh adalah kemanusiaan kita bersala sebagai saudara dan saudari…. Dan bahwa tidak seorang pun dari kita dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita sangat perlu bergabung bersama dalam mencari dan memajukan nilai-nilai universal yang dapat membimbing pertumbuhan persaudaraan manusia ini” (Pesan Paus Fransiskus, Paus Fransiskus, untuk Hari Perdamaian Dunia ke-56, 1 Januari 2023, hlm. 5).
Sikap persaudaraan manusia mengadopsi budaya dialog sebagai cara berkolaborasi. sebagai metode saling mengenal, dan sebagai cara menetapkan kriteria bersama. Faktanya, budaya dialog merupakan hal mendasar untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis, budaya yang didasarkan pada saling menghormati, saling memahami, dan saling mengakui. Dalam konteks ini, saya ingat kata-kata Bapa Suci Paus Fransiskus ketika berbicara di Kairo tentang tiga orientasi mendasar untuk mengejar dialog dan pengetahuan di antara orang-orang yang berbeda agama: “kewajiban untuk menghormati identitas diri sendiri dan identitas orang lain, keberanian untuk menerima perbedaan, dan keikhlasan niat” (Pidato kepada para peserta Konferensi Internasional untuk Perdamaian, Pusat Konferensi Al-Azhar, Kaito 28 April 2017).
Seperti yang dijelaskan Paus Fransiskus di Peringatan Pendiri di Abu Dhabi : “Bersamaan dengan pepatah kuno yang terkenal kenali dirimu, kita harus menjunjung tinggi kenali saudara laki-laki atau perempuanmu’: sejarah mereka, budaya mereka, dan iman mereka, karena tidak ada pengenalan diri sejati tanpa orang lain. Sebagai manusia, dan terlebih lagi sebagai saudara dan saudari, marilah kita saling mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang asing bagi kita.
Beliau, Paus Fransiskus, melanjutkan dengan mengatakan: “Tidak ada alternatif. entah kita akan membangun masa depan bersama atau tidak akan ada masa depan. Agama khususnya tidak dapat meninggalkan tugas mendesak untuk membangun jembatan antara masyarakat dan budaya. Waktunya telah tiba bahwa agama harus lebih aktif mengerahkan diri, dengan keberanian dan kenekatan, dan tanpa kepura- puraan, untuk membantu keluarga manusia memperdalam kapasitas untuk rekonsiliasi, visi harapan, dan jalan perdamaian yang konkret.” (Pidato Paus Fransiskus di Global Conference of Human Fraternity, Founder’s Memorial Abu Dhabi, 4.2.2019).
Seperti yang saya rasakan hari ini sebagai saudara bagi Anda semua, sambil menganugerahkan Doktor Honoris Causa ini kepada saya, saya mengungkapkan perasaan persatuan dalam keragaman dengan Anda semua, dengan keinginan saya yang paling dalam bahwa kita akan terus berjuang dalam membangun bersama dunia yang lebih baik agar perdamaian dapat terwujud dan selalu menjadi landasan masyarakat kita. **
Terima kasih atas perhatian Anda.
Alih bahasa : Pastor Markus Solo Kewuta,SVD, Staf khusus Dikasteri Dialog Lintas Agama Tahta Suci Vatikan.